* Kita tidak tahu bila/kapan kita akan MATI
Bayangkan kita masih tidak bertaubat atas segala dosa
Allah Ta'ala says:
"O Believers.' Make taubah unto Allah Ta'ala a pure taubah. "
Rasulullah Sallallahu alayhi wasallam said:
"O people! Make taubah unto Allah. "
Muslim
The Nature of Taubah
Taubah (repentance) is the regret and sadness which arise in the heart when remembering a sin. For the validity of the taubah, shunning the sin, firmly resolving to abstain from it in future and controlling the nafs when it urges for the sin, are necessary.
The meaning of taubah is to return and to return from the far side to the near side. It has a beginning and an end. The beginning (Ibtidaa) of taubah is the spreading of the rays of Noor-e-Ma'rifat (the Light of Divine Recognition) of the heart which thus realizes that the sin committed is a fatal poison which wroughts great spiritual disaster. This realization induces regret and fear which result in a true and sincere yearning to compensate for the sin. This yearning is to such a degree that shunning of the sin is immediate. Further, a firm resolve and intention are made to totally abstain from the sin in future. Along with this intention a full effort is made to compensate for the past shortcoming. When the result is this fruit of taubah pertaining to the past, present and future, then perfection of taubah has been acquired. This then is the end (Intihaa) of taubah.
The Need for Taubah
It should be clear that taubah is Waajib (compulsory) upon every person because Allah Ta'ala addresses all Muslims in the Aayat:
"O Believers! Make taubah unto Allah, a pure taubah."
Since the reality of taubah is to regard sin as a fatal poison and disaster for the life of the Hereafter, and to firmly resolve to shun sin this much of taubah is part of Imaan it being waajib and necessary are apparent to every Mu'min. Hence, Allah Ta'ala says:
"He who makes taubah after his transgression arid reforms, verily Allah turns towards him."
Qur'aan
The meaning of this Aayat is:
Allah Ta'ala will forgive, have mercy upon and aid the person who after having sinned renders taubah according to the rule of the Shari'at and reforms his acts for the future, i.e. he abstains from all evil, practices in conformity with the Shari'at and remains firm on his taubah.
THE WAY OF MAKING TAUBAH
Taubah or repentance is to confess to Allah Ta'ala one's sins and to regret such commission. Resolve firmly to discharge all Huqooq-ul-Ibaad (rights of others) and other duties which are obligatory, but which have not been rendered. This intention should be immediately made and thereafter the actual fulfillment of such rights and duties put into motion. Alternatively, the pardon of those whose rights were usurped should be obtained. When a sin has been committed, immediately perform two Rak’ats Salaat with the intention of Taubah. One then has to offer repentance with both the tongue and heart. The taubah should be made fervently and vigorously. If one is unable to shed tears, then one's face should take on the appearance of a concerned and crying person while making taubah.
For the purpose of making taubah, recall your sins and then offer repentance in profusion. However, do not meditate about the sins committed or do not make vigorous attempts in a bid to remember what sins had been committed, for this attitude will create a barrier between the repenter and Allah Ta'ala. This constitutes an obstacle in the path of love and progress. After having made a sincere taubah, if previous sins come to mind then renew the taubah. Do not be too much concerned about sins for which taubah has already been made.
While making taubah there should be a degree of moderation in mentioning the sins. There is no need to recite a whole list of sins while making taubah. Seek forgiveness for all sins in general. According to the Hadith Shareef one should say:
"And, I repent of even such sins which you are more aware of."
"I repent of such sins which l am aware of and of such sins which I am unaware."
Pondering about sins is in actual fact destruction of time and diversion from the remembrance of Allah. However, one should make special taubah for sins which one recalls automatically. The real Goal is Allah Ta'ala and not the remembrance of sins neither the remembrance of acts of obedience. The purpose of remembering sins is to offer repentance. Hence, once taubah has been made, one should not deliberately and consciously ponder over sins thereby making such remembrance a definite purpose because this will engender the idea that Allah Ta'ala is displeased with one, and this is a dangerous idea.
Hadis:
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka akan terputus segala amalannya kecuali tiga perkara…”.
Segala puji hanya milik Allah Yang mempunyai segala apa yang ada di langit maupun di bumi. Bagi-Nya segala pujian di dunia maupun di akherat dan Dialah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya manusia diciptakan di alam kehidupan ini bertujuan untuk beramal, kemudian nanti akan dibangkitkan di hari kiamat untuk dibalas berdasarkan apa yang telah mereka amalkan. Maka manusia tidak diciptakan sia-sia, juga tidak ditelantarkan begitu saja. Orang yang beruntung adalah orang yang telah memberikan kebaikan untuk dirinya yang akan dia dapatkan simpanannya di sisi Allah. Dan orang yang celaka adalah orang yang yang memberikan kejelekan untuk dirinya yang akan mengakibatkan kesengsaraan.
Lihatlah kepada amal-amalmu, dan mawas dirilah sebelum datang ajalmu, karena kematian menandakan terputusnya amalan dan merupakan permulaan menuai balasan. Kematian begitu dekat namun kalian tak mengetahui kapan datangnya. Dan perhitungan amal sangat teliti namun kalian tak mengetahui kapan saatnya. Rambut beruban telah memberikan tanda peringatan akan kematian, maka bersiaplah menghadapinya. Kematian teman karib seseorang menandakan dekatnya kematian dirinya.
Ingatlah kematian, beramallah untuk menghadapi masa sesudahnya yang pasti kalian akan datang menemuinya dan menetap di sana. Jangan sampai dilalaikan dengan sesuatu yang kalian datangi tapi akan segara kalian tinggalkan. Jangan tertipu dengan impian-impian panjang lalu menjadi lupa dengan kedatangan ajal. Berapa banyak orang yang mendambakan sesuatu lalu tidak bisa dia dapatkan. Berapa banyak orang yang hidup dalam waktu paginya suatu hari, lalu tak menemui waktu sorenya; atau mengalami sorenya suatu malam namun tak menemui paginya. Berapa banyak orang ketika datang ajalnya berangan untuk ditunda beberapa saat lagi agar dia bisa memperbaiki kesalahannya serta melakukan apa yang telah dia lupakan. Maka dikatakan padanya : “Mustahil, apa yang kau harapkan telah berlalu, kami telah memperingatkanmu sebelumnya dan kami telah ancam kamu bahwa tidak ada waktu lagi untuk kembali”. Allah berfirman (yang artinya) :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata : “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Munafiqun : 9-11)
Sebenarnya seseorang itu terhenti amalnya tatkala datang kematiannya. Tetapi ada beberapa amalan yang dilakukan pada saat hidupnya dan manfaatnya terus-menerus dipakai, maka pahalanya akan terus mengalir kepada pelakunya meskipun temponya berlangsung lama. Dan itu berbentuk segala usaha kebaikan yang bisa bermanfaat bagi manusia ataupun binatang ternak; seperti wakaf-wakaf untuk kebaikan, pohon-pohon berguna yang berbuah, sumber-sumber air minum, membangun masjid-masjid dan madrasah, anak keturunan yang shalih, mengajarkan ilmu bermanfaat dan mengarang kitab-kitab yang berfaedah.
Di dalam As Shahih diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara : shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya”.
Hadits ini menunjukkan terputusnya amalan seseorang itu dengan kematiannya, dan waktu untuk beramal adalah selama dia masih berada dalam kehidupannya.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari sikap lalai dan membuang-buang waktu, dan hendaklah bersegera melakukan ketaatan sebelum datang kematian, tidak mengakhirkannya sampai waktu yang mungkin tidak bisa dia gapai. Dalil-dalil yang menunjukkan perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bersegera dalam melakukan ketaatan dan bercepat-cepat untuk melakukan amalan banyak, menandakan bahwa kalau tidak segera dikerjakan hal itu akan luput dari tangan kita.
Hadits tadi menunjukkan dikecualikannya amalan kebaikan yang terus bisa dimanfaatkan setelah meninggalnya orang yang melakukannya, tidak terputus dengan kematian dia. Bahkan pahalanya akan terus mengalir selama bermanfaat meskipun bisa bertahan sampai lama.
Perkara-perkara itu adalah :
Pertama : shadaqah jariyah.
Para ulama telah menafsirinya dengan wakaf untuk kebaikan. Seperti mewakafkan tanah, masjid, madrasah, rumah hunian, kebun kurma, mushaf, kitab yang berguna, sumber-sumber air minum berupa sumur, bak, kran-kran minum dengan pendingin, dan lain sebagainya. Disini merupakan dalil disyariatkannya mewakafkan barang yang bermanfaat dan perintah untuk melakukannya, bahkan itu termasuk amalan yang paling mulia yang bisa dilakukan seseorang untuk kemuliaan dirinya di akhirat. Yang pertama ini bisa dilakukan oleh para ulama maupun orang awam.
Kedua : ilmu yang bermanfaat.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara seseorang mengajarkan ilmu kepada manusia perkara-perkara agama mereka. Ini khusus bagi para ulama yang menyebarkan ilmu dengan cara mengajar, mengarang dan menuliskannya. Orang yang awam juga bisa melakukannya dengan cara ikut serta di dalamnya berupa mencetak kitab-kitab yang bermanfaat atau membelinya lalu menyebarkannya atau mewakafkannya. Juga membeli mushaf lalu membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau meletakkannya di masjid-masjid. Hal ini menganjurkan kita untuk mempelajari ilmu dan mengajarkannya, menyiarkannya dan menyebarluaskan kitab-kitabnya agar bisa mengambil manfaat sebelum dan sesudah kematian dia.
Manfaat ilmu akan tetap ada selama di permukaan bumi ini masih ada seorang muslim yang sampai kepadanya ilmu tersebut. Berapa banyak ulama yang meninggal semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi ilmunya masih ada dan dimanfaatkan melalui kitab-kitab yang telah dikarangnya lalu dipakai dari generasi ke generasi sesudahnya dengan perantara para muridnya kemudian para pencari ilmu setelah mereka. Dan setiap kali kaum muslimin menyebutkan nama dia, mereka selalu mendoakan kebaikan dan mendoakan agar Allah merahmati dia. Ini adalah fadhilah dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Berapa banyak generasi yang diselamatkan Allah dari kesesatan dengan jasa seorang alim, maka alim itu mendapatkan seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.
Ketiga : anak shalih
Anak shalih baik laki-laki maupun perempuan, anak kandung maupun cucu, akan terus mengalir kemanfaatan mereka untuk para orang tua berkat doa baik yang diterima Allah untuk ibu bapak mereka. Juga shadaqah yang dilakukan anak-anak shalih untuk orang tua, juga hajinya, bahkan doa yang diucapkan orang yang pernah mendapatkan kebaikan dari anak-anak tersebut. Seringkali orang yang mendapatkan kebaikan dari seseorang dia mengatakan : “Semoga Allah merahmati orang tuamu dan mengampuni mereka”.
Disini juga menunjukkan anjuran untuk menikah, dengan tujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, dan melarang dari membenci banyaknya anak. Sebagian manusia kadang terpengaruh dengan propaganda-propaganda sesat sampai dia membenci banyaknya anak dan berusaha untuk membatasi kelahiran atau bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Ini dikarenakan kebodohan mereka terhadap ilmu agama dan ketidaktahuan mereka tentang hasil yang akan didapatkan nanti, serta disebabkan karena lemahnya iman.
Dalam hadits tadi juga terdapat anjuran untuk mendidik anak agar menjadi shalih dan menumbuhkan mereka dalam ajaran Islam dan dalam keshalihan agar mereka menjadi generasi yang shalih buat orang tua mereka yang nantinya mendoakan kebaikan kepada mereka setelah meninggal. Dan terus menerus kebaikan pahala akan mengalir meskipun telah terputus amalan orang tua.
Pada zaman ini banyak sekali orang yang melalaikan permasalahan tersebut. Tidak memperhatikan kepada pendidikan anak-anaknya, justru mendidik anaknya agar rusak, dan tidak berusaha untuk memperbaikinya. Melihat anak-anaknya melakukan larangan dan meninggalkan kewajiban serta meninggalkan shalat, dia tidak memerintahkan mereka atau melarang. Atau melihat anak-anaknya bermain di jalanan, bergaul dengan teman-teman jelek, bahkan kadang pergi ke tempat-tempat yang disitu ada kerusakan, sama sekali tak menjadi pikirannya. Padahal kalau anaknya merusakkan salah satu benda yang dimilikinya, dia pasti akan menjadi lelaki tegas dan pahlawan pembela, membela harta dunianya namun sama sekali tak membela agamanya. Perhatiannya hanya untuk perbaikan harta dan tidak ada perhatian untuk kebaikan anak-anak dalam hidupnya, bagaimana setelah mati?
Maka bertaqwalah kalian wahai para bapak dalam perkara yang berkenaan dengan anak-anakmu agar mereka menjadi simpanan untukmu dan jangan sampai mereka menjadikan kalian rugi. Ketahuilah bahwa keshalihan anak tak akan terwujud begitu saja tanpa mengupayakan sebab, tanpa kesabaran dan kesusahan.
Hadits diatas juga menunjukkan bahwa anak disyariatkan mendoakan orang tuanya bersamaan dengan doa untuk dirinya di dalam maupun di luar sholat. Dan ini termasuk perbuatan berbakti yang akan terus ada setelah meninggalnya para orang tua.
Perkara-perkara yang tersebut di dalam hadits tadi adalah inti dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”. (QS Yaasiin : 12)
Apa yang telah mereka kerjakan disini maksudnya adalah apa yang mereka lakukan secara langsung dalam hidupnya berupa amal-amal yang baik maupun yang buruk. Sedang bekas-bekas yang mereka tinggalkan maksudnya hasil dari amalannya yang terus terwujud setelah kematiannya yang baik maupun yang buruk.
Bekas-bekas amalan yang sampai kepada seorang hamba setelah meninggalnya ada tiga perkara :
Pertama : amal shalih yang dilakukan orang lain sebagai hasil upaya si mayit, berupa dakwah dan pengarahannya kepada orang itu sebelum meninggal.
Kedua : beberapa perkara yang digunakan orang lain berupa usaha-usaha kebaikan yang bermanfaat yang telah didirikan si mayit sebelum dia meninggal. Atau wakaf yang diwakafkannya pada saat masih hidup yang kemudian diambil hasilnya setelah dia meningga dunia.
Ketiga : amalan-amalan yang dilakukan orang yang masih hidup kemudian pahalanya dihadiahkan kepada si mayit berupa doa, shadaqoh dan amalan kebajikan yang lain.
Ibnu Majah meriwayatkan :
“Sesungguhnya amal kebaikan yang akan sampai kepada mayit setelah meninggalnya adalah : ilmu yang dia sebarkan, anak shalih yang dia tinggalkan, mushaf yang dia wariskan, masjid yang dia dirikan, rumah yang dipakai para musafir yang telah dia bangun, sungai yang dia alirkan, atau shadaqoh yang dia keluarkan dari hartanya pada saat dia masih hidup dan sehat, semua akan sampai kepadanya setelah dia meninggal”.
Maka berusahalah -semoga Allah merahmatimu-, untuk mengerahkan semua sebab dan melakukan amalan yang bermanfaat yang akan terus ada manfaatnya dan mengalir pahalanya setelah wafatmu, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Harta dan anak-anak shaleh adalah perhiasan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (QS Al Kahfi : 46)
Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Muhammad, keluarga dan shahabatnya.
Sumber rujukan: Solat Taubat (Panduan Penjernihan Jiwa tulisan Muhammad Isa Selamat )
ALLAH swt sentiasa memerintahkan kita supaya bertaubat, sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar.” (At-Tahrim: 8.)
“Laa illaaha illa anta subhaanaka innii kuntu minazhzhoolimiin”
Tiada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zholim
Penjelasan:
Doa tersebut hendaknya diamalkan selalu dalam setiap kesempatan ibadah, agar kita terlindung dari kesulitan yang tidak sanggup memikulnya.
Hikmahnya terdapat dari kisah Nabi Yunus ketika beliau pergi dalam keadaan marah disebabkan umatnya yg tidak mendengar dakwahnya. Nabi Yunus dipertemukan Allah dengan kesengsaraan di laut dan ditelan ikan besar. Dalam perut ikan tersebutlah Nabi Yunus berasa menyesal dan berdoa kepada Allah. Doanya dimakbulkan Allah dan dia diselamatkan Allah, ikan besar itu terdampar di pantai.
Al Quran telah menyebutkan kepada kita taubat Nabi-nabi dan orang-orang yang saleh atas perbuatan salah mereka. Mereka segera menyesal, bertaubat dan beristighfar dari kesalahan itu. Dengan berharap agar Allah SWT mengampuni dan meneriman taubat mereka.
Pemimpin orang-orang yang taubat adalah nenek moyang manusia, Adam a.s. Yang telah Allah SWT jadikan dia dengan tangan-Nya dan meniupkan ke dalam dirinya secercah dari ruh-Nya, memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, mengajarkan kepadanya seluruh nama-nama, serta menampilkan keutamaannya atas malaikat dengan ilmu pengetahuannya. Namun Adam yang selamat dalam ujian ilmu pengetahuan, tidak selamat dalam "term pertama" ujian iradah (mengekang hawa nafsu). Allah SWT mengujinya dengan beban pertama yang ditanggungkan kepadanya. Yaitu melarang untuk memakan suatu pohon. Hanya satu pohon yang dilarang untuk dimakannya, sementara memberikan kebebasan baginya untuk memakan seluruh pohon surga sesuka hatinya, bersama isterinya. Di sini tampak ia tidak dapat menahan keinginan pribadinya, serta melupakan larangan Rabbnya dengan dipengaruhi bujuk rayu syaitan dan tipu dayanya, sehingga dia pun memakannya dan dia pun terjatuh dalam kemaksiatan. Namun secepatnya dia mencuci dan membersihkan dirinya dari bekas-bekas dosa itu, dengan taubat dan istighfar.
"Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (QS. Thaaha: 121-122)
Al Quran menceritakan kepada kita tentang taubat Musa yang dipilih Allah untuk membawa risalah-Nya dan menerima kalam-Nya. Serta Allah SWT menurunkan taurat kepadanya, menjadikannya sebagai salah satu ulul 'azmi dari sekian rasul, serta membekalinya dengan sembilan ayat-ayat penjelas. Namun ia telah melakukan dosa sebelum mendapatkan risalah. Yaitu karena menuruti permintaan seseorang dari kaumnya yang sedang bertengkar dengan kaum Fir'aun untuk membantunya, maka kemudian Musa memukulnya dan orang itupun tewas seketika.
"Musa berkata: Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan adalah musuh yang menyesatkan, lagi nyata (permusuhannya). Musa mendo'a: Ya Tuhanku, sesungguhya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al Qashash: 15-16)
Beliau juga telah melakukan kesalahan setelah menerima risalah, ketika beliau berkata:
"Berkatalah Musa: Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sedia kala) niscaya kamu dapat melihatKu. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh, dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (QS. al A'raaf: 143)
Di sini, Allah SWT berfirman:
"Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu. Sebab itu berpegan teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS. al A'raaf: 144)
Ketika Musa kembali kepada kaumnya setelah beliau melakukan munajat kepada Rabbnya selama empat puluh malam, dan mendapati kaumnya telah menyembah anak sapi yang dibuat oleh Samiri, dan menjadikan anak sapi itu sebagai tuhan yang disembah, maka amarah beliaupun segera meledak. Dan bersabda: "alangkah buruknya perlakuan kalian sepeninggalku". Kemudian beliau melemparkan lembaran-lembaran yang terdapat di dalamnya Taurat kalam Allah. Beliau melemparkan lembaran itu ke tanah, padahal di dalamnya terdapat firman-firman Allah. Kemudian menarik kepala saudaranya, Harun, kepadanya, padahal ia juga adalah rasul sepertinya jua. Dan saudaranya itu berkata kepadanya: "Wahai saudara seibuku, mengapa engkau tarik jenggot dan kepalaku, karena kaum kita itu menganggap aku lemah, dan mereka hampir membunuhku, maka janganlah engkau jadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah jadikan aku dari kelompok orang yang zhalim.
Di sini Musa menyadari kemarahannya itu, meskipun marahnya itu karena Allah SWT.
"Musa berdo'a: Ya Tuhanku, ampunilah aku dan sauadaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." (QS. al A'raaf: 151)
Al Quran juga menceritakan tentang taubat Nabi Yunus a.s. Ketika beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah SWT namun mereka tidak menuruti dakwahnya itu. Maka Nabi Yunus tidak merasa sabar menghadapi itu, dan marah terhadap kaumnya, kemudian beliaupun pergi meninggalkan mereka. Kemudian Allah SWT ingin menguji beliau dengan cobaan yang dapat membersihkannya, dan menampakkan sifat aslinya yang bagus. Serta sejauh mana keyakinanya terhadap Rabbnya dan kejujurannya dengan Rabbnya. Beliau kemudian menaiki sebuah kapal laut, di tengah laut kapal itu dihantam angin besar, dan dipermainkan oleh ombak, dan mereka merasa bahwa mereka sedang berada dalam bahaya yang besar.
"Dan (ingatlah) kisah Dzun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya atau menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak di sembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al Anbiyaa: 87-88)
Tiga kalimat pendek yang dipergunakan oleh Yunus a.s., namun ketiganya mempunyai pengertian yang besar:
Pertama: menunjukkan atas tauhid --tauhid uluhiyah--, yang dengnnya Allah SWT mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula berdiri surga dan neraka: "La Ilaha Illa Anta" "tidak ada tuhan (yang berhak di sembah) selain Engkau".
Kedua: menunjukkan pembersihan Allah SWT dari seluruh kekurangan. Ini adalah makna tasbih yang dilakukan langit dan bumi dan seluruh makhluk. Karena segala sesuatu bertasbih dengan memuji-Nya. "Subhaanaka" "Maha Suci Engkau".
Ketiga: Menunjukkan pengakuan atas dosa yang dilakukan. Tidak menjalankan hak Rabbnya dengan sempurna serta menzhalimi diri sendiri karena sikapnya itu. "Inni kuntu minazh zhaalimiin" "sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim " ini adalah tanda sebuah taubat.
Tidak heran jika kata-kata yang pendek namun jujur dan ikhlas itu segera mendapatkan jawabannya di dunia ini, sebelum di akhirat:
"Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al Anbiya: 88)
Dan kata-kata yang mengandung tiga hal ini: peng-esaan, pembersihan dan pengakuan, menjadi contoh bagi pujian dan do'a ketika terjadi kesulitan. Hingga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan ia mensahihkannya diriwayatkan:
"Do'a saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus) yang jika dibaca oleh orang yang sedang tertimpa bencana nisaya Allah SWT akan menghilangkan bencana dan kesulitannya itu: "Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang melakukan kezaliman".
Al Quran juga menuturkan kepada kita tentang cerita taubat nabi Daud a.s. seperti diceritakan dalam surah Shaad. Yaitu ketika dua orang yang sedang berselisih datang kepada beliau, dan memasuki mihrab beliau, sehingga beliau terkejut melihat kedua orang itu. Keduanya kemudian berkata:
"Janganlah kamu merasa takut (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain ; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukkilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini, mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: Serahkanlah kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan. Daud berkata: Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik." (QS. Shaad: 22-25)
Kita lihat, apa kesalahan Nabi Daud dalam kisah ini, yang dia sangka sebagai fitnah, dan cobaan bagi beliau, kemudian beliau beristighfar kepada Rabbnya, serta tunduk sujud dan memohon ampunan.
Yang tampak dalam kisah itu adalah: Nabi Daud a.s. bertindak dengan tergesa-gesa serta tidak meneliti dahulu secara mendalam, sehingga beliau terpengaruhi oleh dorongan emosi ketika mendengar perkataan salah seorang yang sedang berselisih itu. Dan secara tergesa-gesa memutuskan hukum dengan merugikan pihak lain, tanpa terlebih dahulu mendengar alasan-alasannya, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk membela dirinya sendiri. Seorang hakim yang adil hendaknya tidak terperdaya oleh ucapan satu pihak yang sedang berselisih atau penampilannya. Hingga ia telah meneliti dan menyelidikinya dengan seksama, dan mendengar dari seluruh pihak yang berselisih dan adanya dalil yang mendukung ucapan masing-masing. Oleh karena itu ada yang mengatakan: Jika salah seorang yang sedang berselisih datang kepadamu dan sambil memperlihatkan satu matanya yang luka, maka tunggullah hingga engkau juga melihat lawan perkaranya, karena barangkali justru lawannya itu kedua matanya luka!
Oleh karena itu, datang perintah Tuhan agar Daud tidak cepat terpengaruh oleh emosinya dalam menetapkan suatu hukum. Dalam firman Allah SWT:
"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia denga adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (QS. Shaad: 26)
Apakah kedua orang yang sedang berselisih itu adalah memang manusia, atau dua malaikat yang menyamar sebagai manusia, datang untuk menguji nabi Daud, kemudian keduanya lenyap tanpa bekas?
Apapun kemungkinannya, namun pengertian dan tujuannya adalah sama. Namun itu tidak dapat dijadikan sebagai suatu bentuk metafor, dan sebagai sindiran bagi Daud sendiri, karena ia menginginkan istri tetangganya sendiri, seperti digambarkan oleh kisah-kisah Israiliat yang menampilkan dengan buruk perjalanan para Rasul dan Nabi-nabi. Hingga dalam kisah Israiliat itu para Nabi telah jatuh dalam tindakan-tindakan yang orang biasa saja tidak mau melakukannya, maka bagaimana mungkin terjadi bagi seseorang yang Allah SWT tundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya pada sore dan pagi hari. Tentangnya Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan)".
"Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik".
Kuala Lumpur |